Sabtu, 24 Januari 2009

Obama, Pilih Domestik atau Israel?

Oleh Jeffrie Geovanie

Di tengah deru mesin perang tentara Israel yang membunuh ratusan warga Palestina, Presiden terpilih Amerika Barack Obama diam seribu bahasa. Sikap diam Obama ini tentu membuat banyak orang bertanya, bagaimana sebenarnya sikap politik Obama terhadap konflik Israel-Hamas di Gaza? Seberapa jauhkah prospek perubahan ke arah perdamaian yang menjadi janji kampanye politik Obama dapat diwujudkan di Timur Tengah?

Sejauh ini, sikap politik Obama masih sulit ditebak. Dia baru resmi menjadi presiden Amerika setelah pelantikan 20 Januari nanti. Di tengah serangan Israel ke Hamas, tim suksesinya lebih memilih jalur diplomasi yang aman. Bahwa, saat ini, menurut tim transisi poitiknya, hanya ada satu presiden Amerika, yakni George W. Bush.

Sikap presiden yang tidak disukai oleh warga dunia dan warganya sendiri itu hanya ada dua: justru membela Israel sambil menebar tuduhan teroris ke Hamas. Tak ada sedikit pun yang dapat kita petik sebagai pelajaran politik dari Bush, yang hanya memproteksi Israel, menebar teror di Timur Tengah, mewarisi perang, dan memorakporandakan ekonomi. Sebaliknya, publik Amerika dan dunia begitu antusias menanti pelantikan presiden terpilih Obama 20 Januari 2009, sambil berharap penuh terjadinya perubahan dalam ekonomi, antiperang, dan politik luar negeri Amerika yang lebih humanis.

Kita percaya, Obama pasti berbeda dengan Bush hampir dalam semua aspek kebijakan kecuali satu hal, yakni sikap pro-Israel. Namun, perlu dicatat, sikap pro-Israel antara Bush dan Obama pasti berbeda tingkatannya. Pada Bush, sikap pro-Israel mutlak, tak dapat ditawar sedikit pun, dan juga spirit anti-Hamas dan dunia Islam. Karena itu, usaha Dewan Keamanan PBB untuk resolusi gencatan senjata gagal karena Amerika mengeluarkan hak vetonya.

Pada Obama, sikap pro-Israel pasti ada dan hal itu tidak unik pada dirinya. Tapi, berbeda dengan Bush, Obama lebih memiliki sensitivitas kemanusiaan secara universal. Dengan tamsil yang manusiawi, Obama pernah berkata bahwa jika anak dan istrinya diserang ketika sedang tidur, maka kewajiban dirinya untuk membela hak hidup dan keselamatan keluarganya.Tapi, masalahnya adalah sejauh ini Obama masih berdiam seribu bahasa ketika publik dunia menunggu komentar politiknya terhadap kebiadaban Israel. Komentar dan pidato Obama yang biasanya inspiratif dan mencerahkan belum dapat kita dengar sedikit pun terkait dengan serangan Israel ini.

Mengapa Obama memilih sikap berdiam ketika sudah lebih dari 500 manusia tewas di Jalur Gaza? Apakah janji perubahan, keadilan, dan perdamaian di Timur Tengah hanya berlaku saat dia kampanye, tidak berlaku lagi saat-saat dia menuju Gedung Putih?Diplomasi untuk Perdamaian Secara realistis, Obama tidak punya banyak pilihan. Politik luar negeri Amerika yang pro-Israel menjadi kebijakan yang hampir tidak dapat ditawar lagi.

Komitmen Amerika terhadap keamanan Israel dan kehidupan warganya menjadikan hubungan kedua negara itu semakin spesial, tak tergoyahkan dengan serangan sekejam apa pun yang dilakukan Israel atau Amerika terhadap dunia Islam.Rintisan perdamaian selama ini hanyalah retorika politik belaka, tidak pernah terwujud secara empiris. Jalur diplomasi yang dipilih bukanlah perundingan dan dialog, tetapi justru perang itu sendiri. Proses perdamaian menjadi miskin makna, untuk tidak menyebut tak bermakna karena sering terucapkan, tapi tak pernah terwujud. Buktinya, perang menjadi pilihan dan keharusan, dengan terus-menerus dikobarkan oleh Israel, tanpa peduli sedikit pun suara protes, kecaman, dan demonstrasi dari dunia luar. Yang dapat menghentikan resolusi perang bukanlah Dewan Keamanan PBB yang sudah terbukti gagal, tapi Israel sendiri. Itu pun dilakukan bukan karena desakan dunia internasional, tapi lebih didasarkan pada pertimbangan politik domestik.Ketika Obama dilantik sebagai presiden Amerika pada 20 Januari nanti, prospek perdamaian di Timur Tengah menjadi harapan semua orang. Ketika berpidato saat pelantikan, kita berharap terjadinya arah perubahan baru dalam kebijakan politik luar negeri Amerika di Timur Tengah.

Jika Obama punya kemauan politik dan berhasrat untuk memenuhi janji kampanye perubahan ke arah proses perdamaian di Timur Tengah, maka sejumlah opsi proposal dapat diambil dan ditindaklanjuti. Pertama, Obama dapat mengevaluasi politik luar negeri Amerika yang pro-Israel. Dia harus bisa meyakinkan publik Amerika dan dunia bahwa apa yang diberikan Amerika ke Israel selama ini sudah tak terhitung jumlahnya, tak terbatas nilainya, dan tak pernah memperoleh timbal balik yang setimpal dari Israel. Justru, akibat kebijakan politik pro-Israel, citra Amerika semakin buruk dan terpuruk di mata dunia.Kedua, jika Obama takut pada opsi pertama dan kemungkinan besar memang demikian adanya, maka dia dapat mengambil opsi yang lebih lunak, yakni dengan tetap memelihara komitmen pada Israel, tetapi memberhentikan bantuan rutin Amerika ke Israel sampai negara Zionis Yahudi itu berhenti perang. Bantuan rutin ke Israel itu dapat dialihkan untuk pemulihan kepentingan ekonomi domestik Amerika, yang memang sedang krisis dan depresi dahsyat.Argumen untuk pemulihan ekonomi domestik Amerika pasti sangat rasional dan nasionalistis ketimbang secara terus-menerus memberikan bantuan militer dan finansial ke Israel yang hanya dipakai untuk perang melawan kemanusiaan.

Jika krisis ekonomi Amerika semakin memburuk di tahun 2009 ini, jutaan warga Amerika semakin menganggur dan perusahaan-perusahaan semakin bangkrut, pemerintahan Obama pasti lebih pragmatis, dengan lebih mementingkan kepentingan ekonomi domestik Amerika ketimbang Israel. Dan, tampaknya, prioritas Obama bukanlah Israel atau Hamas, tetapi lebih terfokus pada usaha menciptakan lapangan kerja baru, stimulus paket ekonomi, asuransi kesehatan, dan perbaikan pendidikan.*.

Jeffrie Geovanie, wakil direktur Eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar